SALAFIYAH DAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Selasa, 20 September 2011

Penulis : Syaikh Muhammad bin Rabi’ bin Hadi Al-Madkhaly

Diantara para da’i, ada yang selalu mengelak untuk memakai istilah salafiyah dan mereka hanya terfokus dengan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, padahal mereka mengaku beraqidah salaf.

Mereka hanya memperkenalkan sifat dakwahnya dengan sebutan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka menyatakannya berkali-kali dalam muhadharah-muhadharah (ceramah-ceramah) dan majelis ilmu mereka.

Demikianlah, tatkala mereka tidak mau memakai istilah salafiyah, maka ini termasuk dari bukti keagungan dan kemuliaan Allah, agar dakwah yang haq (benar) berbeda dengan segala yang mengotorinya dan agar tersaring dari segala kerancuan dan noda-noda.

Adapun penjelasannya mengapa istilah Ahlus sunnah wal Jama’ah mulai berkembang (dan muncul) adalah ketika fitnah-fitnah pada saat itu mulai berbenih bid’ah-bid’ah. Untuk itu, jama’ah kaum muslimin yang berpegang dengan sunnah terbedakan dengan yang lainnya.

Sehingga mereka dikatakan Ahlus Sunnah, sedang lawannya disebut Ahlul Bid’ah. Yang berpegang dengan sennah disebut juga dengan Al Jama’ah. Istilah ini merupakan asal nama mereka, yang terpisah dari hawa nafsu dan kebid’ahan.

Adapun pada masa kini, setiap kelompok dan aliran yang berbeda-beda memakai istilah ahlus Sunnah wal Jama’ah. Anda menyaksikan banyak kelompok yang menamakan diri –meski aturan-aturan yang mereka pakai berasal dari mereka sendiri- dengan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Sampai-sampai sejumlah tarekat sufi memakai istilah ini begitu juga Asy’ariyah, Maturidiyah, Barlawiyah dan yang semisalnya mengaku (dan mengatakan): “Kami adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.”

Bersamaan dengan itu mereka takut kalau memakai dan mensifati dakwah mereka dengan istilah salafiyah. Mereka berusaha menjauh dari manhaj salaf, sekalipun hanya sebatas nisbah (menyandarkan) apalagi mewujudkan manhaj salaf (dalam amal perbuatan).

Oleh karena itu, syiar ahlus Sunnah adalah mengikuti salafus shalih dan meninggalkan segala macam kebid’ahan dan perkara-perkara yang baru (dalam agama).[4]

Barangsiapa yang mengingkari, bahkan melecehkan salaf dan tidak mau mengikutinya, maka harus dibantah dan diluruskan ucapannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak ada kehinaan bagi siapa saja yang memperjuangkan mazhab salaf, menisbatkan diri kepadanya, bahkan wajib menerima yang demikian itu berdasar kesepakatan (para ulama), karena sesungguhnya mazhab salaf adalah pasti benar.”[5]

Saya bertanya-tanya, mengapa sebagian saudara kita terus memakai istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan mereka enggan untuk memakai istilah salafiyah.

Kita yakin bahwa mereka berada di atas aqidah salaf. Mereka menimba kebersihan aqidah tersebut, bahkan mereka tumbuh dan berkembang di tengah-tengah keluarga dan berbagai tingkat pendidikan tersebut.

Saya katakan, mengapa mereka tidak mencukupkan saja dengan memakai kata muslimin, kalau seandainya mereka takut atau khawatir akan mengantarkan kepada perpecahan, menurut pendapat mereka?!

Apabila mereka membolehkan menisbatkan diri dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka tidak ada larangan jika memakai nama salafiyah sebagai nisbat kepada salafus shalih, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Akan tetapi saya katakan: “Tidak tersembunyi lagi, mengapa mereka terus menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena mereka ingin menampakkan toleransi dan kelemahlembutannya kepada para penyelisih manhaj salaf serta jalannya.

Hal ini bertujuan agar luas ruang lingkupnya, bersemangat untuk mewujudkan kuantitas bukan kualitas, dan mengikuti jama’ah sebelumnya hanya sebagai uji coba.”

Saya telah mendengar sebagian orang yang menisbatkan dirinya kepada dakwah dan kebaikan, bahwa mereka ingin menghilangkan lambang-lambang dan penamaan-penamaan ini secara menyeluruh. Dan mereka masukkan juga di dalamnya nama salafiyah dengan dalil bahwa semua nama-nama dan lambang-lambang ini akan menjurus kepada perpecahan dan kelompok-kelompok.

Keinginan dan tujuan ini di dalamnya mengandung sisi kebenaran dan kebathilan. Kita sepakat atas penghapusan setiap syiar-syiar yang diada-adakan dan mengandung kebid’ahan. Bahkan kebanyakan syiar-syiar tersebut tidak diketahui kecuali baru-baru saja, sekitar lima puluh tahunan belakangan ini dan sebagiannya bahkan tidak sampai umurnya tercatat oleh zaman (karena setelah itu hilang).

Akan tetapi syiar salafiyah dan ahlus Sunnah bukan kelompok hizbiyah (kelompok yang menyelisihi sunnah) dan tidak pula bergabung dengan kelompok apapun. Salafiyah atau Ahlus Sunnah merupakan warisan pendahulu generasi pertama agama Islam ini.

Syiar salafiyah merupakan jalan yang paling dasar untuk memahami Islam. Tidak boleh disamakan dengan syiar-syiar yang muncul di zaman belakangan ini.

Mayoritas ulama yang menulis dalam masalah aqidah menetapkan nama ini, diantaranya:

1. Al Hafidz Ismail at Taimi Al asbahani, beliau adalah ulama abad kelima. Beliau mengulang-ulang penyebutan madzhab salaf (dalam kitabnya) sampai tidak terhitung.

2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Ketika beliau melihat sebagian orang yang menyelisihi aqidah yang lurus, seperti Asy’ariyah yang menamakan diri dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka beliau mempergunakan nama as salaf untuk membedakan dengan kelompok bid’ah tersebut. Sebab, bagaimanapun juga kelompok Ahlul Bid’ah tidak mau menamakan diri dengan nama salafiyah.

Saya telah menelaah kitab Al Fatawa Al Hamawiyah dan saya menemukan pengulangan kata as salaf lebih dari tiga puluh tiga kali. Apakah (dengan itu) Syaikhul Islam (di anggap) sebagai pemecah belah umat ataukah orang yang pendek akalnya?

Lebih aneh lagi, sebagian penuntut ilmu yang juga memuliakan Syaikhul Islam dan manhajnya, bahkan mereka banyak bersandar dengan kitab-kitab beliau, lebih mengutamakan maslahah dengan cara meninggalkan penamaan salafiyah dan mencukupkan diri dengan istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena hal ini termasuk syiar yang luas cakupannya dan ini tidak diingkari oleh seorang pun di kalangan kaum muslimin pada saat sekarang.

Manhaj salaf bukanlah hasil karya orang-orang zaman sekarang, akan tetapi manhaj salaf, Ahlus Sunnah, Ahlul Hadits, atau Ahlul Atsar terdapat di dalam wahyu yang diturunkan (Al Qur’an dan As Sunnah) dengan penafsiran dan pengamalan generasi yang pertama lagi utama, yaitu generasi shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.

Termasuk salah satu perbuatan yang menyimpang dan salah satu bentuk kedzaliman adalah menyamakan manhaj salafi dengan syiar-syiar baru dan bid’ah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan Allah telah meninggikan langit-langit dan meletakkan neraca (keadilan) supaya kalian jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan (penuh) keadilan dan janganlah kalian mengurangi neraca itu.” (Ar Rahman: 7-9)

Termasuk kekeliruan yang fatal dan pendeknya akal (seseorang), apabila manhaj salaf dimasukkan dalam ruang lingkup syiar hizbiyun dan kebid’ahan. Siapa saja yang mengucapkan ucapan ini, hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, menginstrospeksi diri, dan membersihkan dirinya dari hawa nafsu.

Cukuplah untuk membantah ucapan tersebut kita lontarkan kepadanya pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

1. Beritahukanlah kepada kami, siapakah yang mendirikan manhaj salaf ini?

2. Kapan manhaj salaf didirikan?

3. Apakah anda berani mengatakan bahwa manhaj salaf adalah sebuah manhaj yang mengandung di dalamnya kesalahan-kesalahan, sebagaimana keadaannya manhaj bid’ah?

Bertaqwalah wahai muslim;

Janganlah engkau terpengaruh untuk menentang dan sombong dihadapan al-haq (kebenaran) serta menolaknya dan engkau memalsukan hakikat-hakikat yang kokoh. Ketahuilah bahwa manhaj salaf tidak didirikan oleh si Fulan sepanjang zaman. Akan tetapi, manhaj salaf adalah aqidah yang murni, syari’at yang kokoh, pengajaran-pengajaran Ilahiyah yang telah diwahyukan oleh Allah kepada Rasul-Nya Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam.

Manhaj ini telah dipraktekkan oleh beliau bersama para sahabat beliau dan diikuti oleh orang-orang yang mengikutinya dalam kebaikan sehingga menjadi hujjah yang terang dan jalan yang jelas, yang malamnya seperti siangnya.

Tidak ada seorangpun yang menyeleweng darinya kecuali binasa. Tidak ada seorangpun yang membencinya kecuali akan menjadi hina, sebagaimana yang telah diancamkan oleh Allah di dalam Al Qur’an dengan firman-Nya:

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’: 115)

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Aku wasiatkan kepada kalian agar bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat sekalipun (yang memimpin kalian) adalah seorang budak Habasyi. Maka barangsiapa yang hidup dari kalian (di masa) itu dia akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk setelahku. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru (dalam masalah agama), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” Dalam riwayat lain ada tambahan: “Dan setiap kesesatan tempatnya dineraka.”[6]

Syaikh Al Allamah Bakar Abu Zaid berkata di dalam kitab beliau: Hukmul Intima’ hal. 30 dan halaman berikutnya:

“Kaum muslimin dari kalangan para shahabat sebelum munculnya benih-benih perselisihan dan perpecahan tidak memiliki nama untuk membedakan mereka. Kemudian setelah itu muncul kelompok-kelompok sesat yang dihimpun dalam lafadz ahlul ahwa –dinamakan demikian karena mereka dikuasai oleh hawa nafsu- dan dihimpun dalam lafadz ahlul bida’ –hal ini dikarenakan mereka mengikuti apa yang bukan dari agama- serta tercakup dalam lafadz ahlu syubhat –karena mereka menyamarkan perkara kebenaran dengan kebathilan-.

Ketika munculnya kelompok-kelompok tersebut, yang menisbatkan dirinya kepada Islam tetapi sebenarnya terpisah dari tulang punggung kaum muslimin, maka muncullah penamaan untuk mereka (para sahabat dan para pengikutnya) yang syar’i dengan nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Penamaan ini berasal dari syari’at (Allah subhanahu wa ta’ala), begitu pula dengan nama Al Jama’ah, Jama’atul Muslimin, Al Firqatun Najiyah (kelompok yang selamat), dan Ath Thaifah Al Manshurah (golongan yang ditolong).

Dinamakan seperti ini, dikarenakan mereka konsisten berpegang dengan sunnah di hadapan Ahlul Bid’ah. Oleh sebab itulah maka terjadi ikatan dengan generasi pertama umat ini sehingga mereka disebut juga: as salaf, Ahlul Hadits, Ahlul Atsar (kelompok yang mengikuti atsar) dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Nama-nama yang mulia ini telah menyelisihi (dan membedakan diri) dengan nama kelompok-kelompok sempalan apapun juga. Ini dapat dilihat dari beberapa sisi:

Pertama:

Penyandaran ini tidak terpisah sesaat pun dari umat Islam, dikarenakan pembentukannya di atas manhaj Nabawi. Nama ini mencakup seluruh kaum muslimin yang berada di atas jalan generasi yang pertama dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam pengambilan ilmu, memahaminya dan berdakwah kepadanya.

Tidak terbatas dengan peredaran sejarah tertentu, akan tetapi wajib dipahami bahwa perjalanannya terus berlangsung sepanjang kehidupan dan selama Firqatun Najiyah yang berada dalam barisan Ahlul Hadits dan sunnah. Merekalah pemilik manhaj ini, dan terus ada sampai datangnya hari kiamat. Sebagaimana hal ini terdapat di dalam sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:

“Terus menerus (akan ada) sekelompok dari umatku tertolong di atas kebenaran, tidak akan memudharatkannya siapa saja yang menyelisihi dan merendahkan mereka.”[7]

Kedua:

Semua nama-nama ini mencakup Islam seluruhnya, karena Islam adalah Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka tidak memakai nama khusus yang menyelisihi, menambahi atau mengurangi dari apa yang ada di dalam Al qur’an dan As Sunnah.

Ketiga:

Semua nama-nama ini diantaranya ada yang terambil dari sunnah yang shahih dan diantaranya tidak dipakai kecuali dalam rangka menghadapi manhaj-manhaj ahli hawa nafsu dan kelompok-kelompok sesat. Hal ini dalam rangka untuk membantah mereka, menjauhkan diri dari bergaul bersama mereka dan bersikap keras terhadap mereka.

Ini disebabkan munculnya bid’ah mereka yang berbeda dengan istilah As Sunnah. Diantaranya ketika mereka menjadikan hasil pemikirannya sebagai hakim, ketika mereka berbeda dengan istilah al hadits serta al atsar dan ketika bertebaran kebid’ahan-kebid’ahan serta hawa nafsu-hawa nafsu mereka telah berbeda dengan istilah salaf.

Keempat:

Meletakkan al wala’ (loyalitas), al bara’ (berlepas diri), al mu’awanat (Pembelaan) dan al mua’adat (permusuhan) di atas Islam bukan selainnya, tidak di atas satu lambang tertentu atau lambang yang telah ada, akan tetapi di atas Al Qur’an dan As Sunnah semata.

Kelima:

Nama-nama ini tidak menggiring mereka ke dalam lingkaran fanatisme kepada individu tertentu, kecuali hanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Para pengikut kebenaran dan As Sunnah tidak memiliki contoh kecuali (hanya mencontoh) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yang ucapannya bukan berasal dari hawa nafsunya, akan tetapi dengan wahyu yang telah diturunkan kepadaya. Beliaulah yang wajib kita benarkan terhadap segala apa yang diberitakannya dan mentaati apa saja yang diperintahkannya.

Hal ini tidak dimiliki oleh selain beliau, bahkan setiap orang bisa saja diambil dan ditinggalkan ucapannya kecuali Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Maka jelaslah semuanya, bahwa orang yang pantas menjadi Al Firqatun Najiyah (kelompok yang selamat) adalah Ahlul Hadits dan Ahlus Sunnah. Mereka tidak memiliki ikutan yang mereka fanatik kepadanya, kecuali hanya fanatik kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.”[8]

Memang benar, bahwa ulama salafiyin dulu maupun sekarang, mereka sangat jauh dari fanatisme terhadap para imam dan masyaikh (para syaikh). Merekalah yang paling tunduk dalam mengikuti dalil dan burhan (petunjuk), dan lebih bersemangat (untuk mencari ilmu, mengamalkan dan mendakwahkan) sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang shahih.

Berbeda dengan para pengikut kelompok-kelompok yang mendasari pemikiran-pemikiran mereka di atas ketatan mutlak (kepada pemimpinnya), yang bila dilihat dengan kacamata Islami, maka dia (pemimpinnya) tidak berhak untuk dijadikan sebagai tempat bertanya, memberi hujjah atau dimintai dalil dan keterangan.

Adapun dari apa yang telah terjadi dari perilaku sebagian orang yang demikian itu jika mereka menisbatkan dirinya kepada dakwah salafiyah, alhamdulillah ini jarang terjadi serta sedikit jumlahnya. Maka jika yang ditanya itu adalah orang yang jahil (bodoh) tentang hakikat jalannya salaf, tentunya cercaan itu akan kembali kepada si jahil tersebut.

Bagaimana pendapat kalian jika kalian melihat perilaku umat Islam yang telah dikritik oleh Orang-orang Nasrani bahwa sebagian mereka terjatuh dalam perbuatan dzalim, keji, intimidasi, melampaui batas dan jelek, apakah setelah itu cercaan yang seperti ini akan mengenai Islam? Naudzubillah.

Demikianlah pula dengan ucapan yang berasal dari para penganut akal dengan mengatakan: “Setiap jama’ah memiliki kesalahan tanpa terkecuali manhaj salaf.” Sungguh dia telah mencampur adukkan antara yang haq dan bathil. Dan hal ini tidak muncul dari mereka kecuali dari kebodohan yang nyata.

Dan masih ada kebodohan dalam bentuk lain, yaitu “berdalil dengan kuantitas”, artinya bahwa jalan Fulan ini banyak yang mengikutinya (tanpa melihat) apakah jalan itu benar atau tidak. Mereka mencerca salafiyin karena sedikit pengikutnya dan mereka (penganut akal) berbangga karena pemikiran-pemikiran dan buku-buku mereka laku di pasaran.

Banyaknya pengikut tidak bisa dijadikan dalil kebenaran. Begitu pula sedikitnya pengikut tidak bisa jadi bukti ketidak-benaran, karena hal ini tidak ada dasarnya, baik dari kacamata syari’at ataupun secara kenyataan.

Adapun dalil dari syari’at;

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.” (Yusuf: 103)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Al An’am: 116)

Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Dantidak beriman bersama Nuh itu kecuali sedikit.” (Hud: 40)

Adapun secara kenyataan;

Bahwa orang-orang kafir berlipat-lipat jumlahnya dibanding dengan orang-orang Islam. Bahkan orang nasrani lebih banyak dari kaum muslim. Sertengah juta orang-orang barat berkumpul di lapangan untuk menyaksikan, mendengarkan seorang penyanyi, berdansa dan berdrama.

Pada sebagian acara-acara TV seperti drama dan nyanyian-nyanyian disaksikan pada waktu yang bersamaan oleh kurang lebih sepuluh juta orang. Sebagian buku-buku nujum (ilmu sihir) dibeli kurang lebih oleh sepuluh juta orang. Yang menghadiri acara kelahiran Al Badawi adalah masyarakat yang sangat banyak sampai mencapai dua juta orang. Apakah masuk akal, kalau kita beralasan karena banyaknya penggemar menunjukkan bahwa jalan mereka adalah benar dan mereka adalah orang-orang yang dicintai di sisi Allah. Inilah ukuran orang-orang jahil dan orang-orang yang tertipu.

Adapun para penganut al Haq mengetahui bahwa sedikit-banyak jumlah pengikut bukanlah sebagai ukuran. Bahkan, terkadang yang sedikit jumlahnya lebih dekat kepada kebenaran. Artinya bahwa pemegang al Haq itu sedikit. Rasulullah bersabda:

“Telah ditampakkan kepadaku umat-umat terdahulu, maka aku melihat seorang Nabi dengan pengikutnya (dengan jumlah) rahthun (dibawah sembilan di atas tiga) dan seorang Nabi bersama satu pengikut atau dua orang serta seorang Nabi tidak membawa pengikut sama sekali.”[9]

Apakah boleh seseorang menghakimi para Nabi, dengan mengatakan bahwa jalan mereka salah atau mereka gagal dalam berdakwah?! Semoga Allah melindungi kita (dari ucapan jelek ini).

Termasuk perkara yang dimaklumi, seperti yang telah dijelaskan di dalam hadits-hadits yang shahih bahwa para pengikut dajjal dari penduduk bumi ini banyak sekali. Hal ini dikarenakan kuat dan kerasnya kedustaan serta penyesatannya dan sangat sedikit yang kokoh di atas keimanan.

Para pengikut manhaj salaf akan semakin bertambah kokoh dan kuat serta meyakini kebenaran manhaj Allah dari Rasul-Nya yang murni, ketika melihat manusia terpecah berkeping-keping dan melihat kepada pengikut manhaj-manhaj sesat yang sangat banyak jumlahnya.

Mereka mengetahui, bahwa keadaan Islam sekarang dalam keadaan asing sebagaimana asingnya ketika pertama kali datang. Mereka mengetahui bahwa orang yang berpegang dengan bimbingan agama di masa sekarang ini seperti orang yang memegang bara api, karena sedikitnya para pengikut al haq dan banyaknya pengikut kebatilan dan juga karena kedzaliman ahli kebatilan terhadap pengikut al haq yang sedikit jumlahnya.

Semuanya ini tidak membawa mereka kepada sikap putus asa serta lari dari Rahmat Allah. Tidak pula menjadikan mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban dalam menyampaikan (Kebaikan), berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar.

Mereka bahkan terdorong untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan ini merupakan udzurnya (dihadapan Allah). Mereka selalu mengingat firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan petunjuk kepada siapa saja yang engkau cintai, dan akan tetapi Allah memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Al Qashash: 56)

Dan juga firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Demi Masa. Sesungguhnya semua manusia dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, orang yang saling berwasiat dalam kebaikan dan orang-orang yang saling berwasiat dalam kesabaran.” (al Ashr: 1-3)

Di dalam ayat ini ada dalil yang menunjukkan terlalu banyak orang-orang yang merugi dan binasa serta sedikitnya orang-orang yang berhasil menang.

Kita minta kepada Allah agar memberikan kita kekokohan (iman) dan terus menerus berada di atas al haq (kebenaran).

“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (Ali Imran: 8)

Foot Note:

[4]. Lihatlah kitab Al Hujjah fi Bayan Al Mahajjah (1/364), karya Al Ashbahani

[5]. Majmu’ Fatawa (4/149), karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ru’yatun Waqi’iyah fil Manahij Ad Da’wiyah (hal. 21-23), karya Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid

[6]. Sunan Abi dawud (5/13), At Tirmidzi dengan Syarah Tuhfatul Ahwadzi (7/438), Ibnu Majah (1/15) dalam Al Muqaddimah, Ahmad (4/126-127), dan Al Hakim dalam Kitabul ‘Ilmi (1/95-97). Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam kitab Silsilah Ash Shahihah (2/647).

[7]. Di dalam riwayat yang lain dengan lafadz:

“Terus menerus ada sekelompok dari umatku yang senantiasa tampil di tas kebenaran. Tidak akan membahayakan mereka (atas perbuatan) orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (HR. Bukhari-Muslim, dan lafadz hadits ini adalah lafadz milik Imam Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920 –ed).

[8]. Sampai disini ucapan Syaikh Bakar abu Zaid, semoga Allah memberi berkah dalam umur beliau dan memberikan manfaat pada ilmu beliau.

[9]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitabul ‘Iman hal. 374 dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma yang panjang.

Sumber : E-book “Kajian bagi Pemula, Berkenalan dengan Salaf”; Karya : Syaikh Muhammad bin Rabi’ bin Hadi Al-Madkhaly; Kompilasi dan upload oleh admin blog : http://ashthy.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar

Radio Online

Twitter Update



  © Blogger template The Professional Template II by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP