Ciri Khas Mazhab As-Salaf (2)
Selasa, 20 September 2011
Penulis : Asy-Syaikh Khalid Azh-Zhafiri
Berikut adalah terjemah lengkap dari transkrip muhadharah kedua Asy-Syaikh Khalid Azh-Zhafiri di Jogja bulan Agustus kemarin (tahun 2008).
Temanya masih seputar ciri khas manhaj As-Salaf. Kami sarankan kepada setiap yang menghendaki kebaikan untk membaca dan memahami isinya dengan seksama, karena di dalamnya terdapat banyak sekali faidah manhajiah yang bisa meluruskan akidah dan manhaj seseorang, baik ketika dia bermuamalah dengan dirinya, dengan orang yang semanhaj dengannya dan dengan orang yang bertentangan dengannya. Kalimat dalam kurung ‘[]‘ adalah tambahan dari kami, semacam judul agar pembaca bisa memahami dengan baik setiap ucapan dari Asy-Syaikh hafizhahullah. Selamat membaca …
Sesungguhnya segala pujian hanya untuk Allah. Kami memuji kepada-Nya, meminta pertolongan hanya kepada-Nya dan meminta ampunan hanya kepada-Nya. Kita berlindung kepada-Nya dari kejelekan jiwa-jiwa kita dan kejelekan amalan-amalan kita.
Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah, niscaya tidak ada yang sanggup menyesatkannya. Barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang mampu memberi hidayah kepadanya. Saya bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dan saya bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kalian mati kecuali dalam keadaan muslim”. (QS. Ali Imran: 102)
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan isterinya; dan Allah memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kalian saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu mengawasi kalian”. (QS. An-Nisa`: 1)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amalan-amalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (QS. Al-Ahzab: 70-71)
Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah firman Allah dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan. Karena sesungguhnya semua yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah kesesatan. Sedangkan semua kesesatan berada dalam Neraka, amma ba’du:
Semalam kita telah membahas suatu permasalahan penting, yaitu ciri-ciri manhaj salaf, kita telah menyebutkan sebagian di antara ciri-ciri pentingnya, yang sepantasnya setiap muslim dan setiap orang yang mempunyai manhaj yang selamat, setiap sunni salafy, untuk berpegang teguh dengan ciri-ciri ini, mengamalkannya, meyakininya, mengambil tuntunan darinya dan berjalan sesuai dengan apa yang datang dalam Al-Kitab dan sunnah Nabi -shallallahu alaihi wasallam-. Di sana masih ada beberapa ciri agung lainnya yang akan kita sebutkan pada pertemuan kali ini.
[Kejelasan dalam manhaj dan aqidah]
Ciri ini merupakan ciri penting yang dengannya ahlussunnah wal jamaah berbeda dari selainnya, ciri ini adalah kejelasan dalam manhaj, kejelasan dalam akidah. Kamu mendapati seorang sunni salafi yang berpegang teguh dengan akidahnya, yang berjalan di atas cahaya yang datang dari Al-Kitab dan As-Sunnah, kamu akan mendapatinya mempunyai kejelasan dalam akidahnya, jelas dalam manhajnya, tidak ada kesamaran dalam manhajnya, tidak meraba-raba ke kanan dan ke kiri, tidak memalingkan wajahnya dari manusia, bahkan kamu akan mendapatinya bersikap jelas dan terang seperti terangnya matahari di siang bolong. Maka akidahnya jelas, metodenya jelas, manusia menunjuk kepadanya dan mengatakan bahwa dia adalah seorang sunni dan bahwa dia adalah salafi. Ini adalah ciri penting yang dengannya ahlussunnah berbeda dari selainnya.
Berbeda halnya dengan ahli bid’ah, karena metode mereka adalah sirriah (sembunyi-sembunyi) dan terselubung, mereka bekerja sembunyi-sembunyi, tidak ada kejelasan pada mereka. Bahkan kamu akan mendapati mereka beragama dengan cara talawwun (berubah-ubah dan berpindah-pindah) dan bermain-main dengan agama. Adapun seorang salafi, maka tidak ada sedikit pun padanya permainan dan talawwun seperti ini, bahkan lisannya mengucapkan apa yang ada di dalam hatinya, lahiriahnya seperti batinnya tanpa ada perbedaan antara keduanya. Dia senantiasa memperlihatkan akidahnya yang benar, tidak bersikap segan di jalan Allah dan tidak takut -dalam menjalankan agama Allah- kepada celaan orang yang mencela. Kalau kamu menelaah manhaj ahlussunnah wal jamaah serta pokok-pokok yang mereka canangkan dalam bermuamalah dengan orang-orang yang menentang mereka dari kalangan ahli bid’ah dan selain mereka, niscaya kamu akan mendapati mereka ketika mencanangkan pokok-pokok ini, mereka akan menjelaskan dan menerangkannya dengan penjelasan yang sangat gamblang.
[Menghajr (Boikot) Ahli Bid’ah]
Karenanya kamu akan mendapati mereka mencanangkan pokok-pokok dalam masalah -misalnya- memboikot ahli bid’ah, wajibnya memboikot ahli bid’ah, dan bahwa maslahat dari boikot ini kembalinya kepada yang memboikot, sedang yang diboikot mengharuskan dia (ahli bid’ah) diperlakukan dengan perlakuan seperti itu, dengan diboikot dan dijauhi. Perkara boikot ini yang merupakan salah satu dari pokok-pokok ahlussunnah wal jamaah dalam muamalah mereka kepada ahli bid’ah, dan pelaksanaannya tergantung pada adanya maslahat, wajib untuk ditinjau dari sisi bahwa dia termasuk dari sisi-sisi penting dalam menetapkan kejelasan dalam manhaj. Kenapa mereka menetapkan adanya boikot kepada ahli bid’ah? Hal itu tidak lain karena kejelasan salafi dan untuk menjauh dari ahli bid’ah tersebut. Kamu akan mendapati seorang ahlussunnah berada di satu sisi dan ahli bid’ah berada di sisi lainnya, mereka memboikotnya, menjauhi mereka dan memusuhi mereka, tidak masuk bergaul bersama mereka. Bahkan seorang sunni itu jelas sikapnya sementara yang lainnya (ahli bid’ah) berada di dasar sumur dalam keadaan mengambang, kesana kemari dan tidak tetap pada satu pijakan. Karenanya kalau kamu juga melihat ke dalam kitab Allah, As-Sunnah dan dalam atsar para salaf as-saleh, kamu akan mendapati penetapan terhadap pokok boikot kepada ahli bid’ah ini, dan para ulama senantiasa menukil ijma akan pokok ini, bahkan ijma’ ini telah dinukil oleh lebih dari 30 imam dalam kitab-kitab mereka yang terkarang dalam akidah, mereka semua menukil ijma ahlissunnah akan wajibnya mentahdzir, wajibnya memboikot ahli bid’ah sesuai dengan maslahat yang ada.
Kami akan menyebutkan untuk kalian sebuah atsar dari Umar -radhiallahu anhu-. Ada seorang lelaki pada zaman kekhalifaannya yang bernama Shabigh bin Ishl. Kisah Shabigh bin Ishl ini sendiri sudah merupakan tempat pelajaran, dan padanya terdapat banyak faidah dan banyak perkara pokok manhaj. Shabigh ini sering mendatangi orang-orang lalu mempertentangkan kitab Allah antara satu ayat dengan ayat yang lainnya, memberikan kerancuan di tengah manusia. Dia berkata, “Apa itu “Adz-dzariyati dzarwa?” apa itu “Al-hamilati wiqra?” dia datang dengan membawa ayat-ayat yang mutasyabih dari Al-Qur`an lalu memberikan kerancuan di tengah manusia. Hal itu kemudian didengar oleh Umar bin Al-Khaththab -radhiallahu anhu-, maka beliau memanggilnya dan menyuruhnya untuk datang ke majelis beliau. Kemudian dia masuk kepada Umar lalu beliau bertanya, “Siapa kamu?” dia menjawab, “Saya hamba Allah yang bernama Shabigh,” maka Umar berkata, “Saya juga hamba Allah yang bernama Umar.” Umar sebelum itu telah menyiapkan untuknya pelepah pohon korma yang biasa dipakai untuk mencambuk. Umar lalu memukul kepala Shabigh (dengan pelepah korma itu) hingga kepalanya mengucurkan darah, kemudian beliau memerintahkan agar dia dimasukkan ke dalam penjara. Kemudian dia dipanggil lagi lalu beliau kembali memukul kepalanya hingga kepalanya mengucurkan darah. Kemudian beliau melakukan hal itu lagi pada kali ketiganya, beliau memukulnya sampai berdarah. Kemudian Shabigh berkata, “Wahai Amirul Mukminin, kalau yang kamu inginkan (dengan pemukulan ini) agar apa (baca: kesesatan) yang ada di kepalaku keluar (hilang), maka demi Allah dia sudah keluar. Tapi kalau yang kamu inginkan adalah membunuhku maka bunuhlah saya dan istirahtkanlah saya (dari pemukulan ini).” Walaupun penentang ini (Shabigh) telah memperlihatkan taubatnya, akan tetapi Umar belum merasa cukup dengannya, karena yang menjadi pokok dalam agama adalah adanya kejelasan dalam manhaj dan karena yang menjadi pokok adalah seorang yang menentang harus menjauh dari ahlissunnah agar dia tidak lagi mengotori agama dan akidah mereka. Maka Umar -radhiallahu anhu-memerintahkan agar orang ini diasingkan ke Bashrah (Irak) lalu memerintahkan Ibnu Mas’ud yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Bashrah agar memerintahkan penduduknya untuk memboikot orang itu selama setahun penuh. Sehingga setiap kali Shabigh mendatangi sebuah majelis, maka orang-orang pada berdiri seraya berkata, “Perintah Amirul Mukminin,” yakni Amirul Mukminin memerintahkan kami untuk memboikotnya dan meninggalkannya. Demikian seterusnya sampai berlalu setahun penuh dalam keadaan dia seperti ini, dia tidak masuk bergaul dengan ahlussunnah dan mereka menjauh darinya. Kemudian Ibnu Mas’ud mengirim surat kepada Umar -radhiallahu anhu- yang berisi bahwa Shabigh telah bertaubat dengan benar dan dia telah kembali kepada manhaj ahlussunnah dan telah meninggalkan kesesatan yang dulu dia berada di atasnya, maka Umar kemudian memerintahkan orang-orang agar kembali bergaul dengannya. Perhatikanlah, semua penjagaan ini diadakan bertujuan untuk memperlihatkan kejelasan dalam manhaj, untuk menyelamatkan rakyat, untuk menyelamatkan ahlussunnah wal jamaah agar tidak ada ahli bid’ah yang masuk ke barisan mereka. Kemudian waktu berlalu sampai pada zaman kekhalifaan Ali, sampai keluarnya orang-orang Khawarij lalu mereka mendatangi Shabigh. Dalam peristiwa ini terdapat talbis (penipuan) yang dilakukan oleh ahli bid’ah, mereka mengungkit-ungkit kembali kejadian yang telah lampau yang dengannya mereka membuat makar kepada ahlussunnah wal jamaah. Orang-orang khawarij datang menemui Shabigh bin Ishl lalu mereka berkata kepadanya, “Wahai Shabigh, sesungguhnya hari ini adalah kesempatanmu untuk membalas dendam, hendaknya kamu keluar bersama kami, hendaknya kamu berperang bersama kami melawan orang-orang kafir (para sahabat dan kaum muslimin, pent.).” Maka Shabigh berkata kepada mereka dengan sebuah kalimat yang agung, “Tidak, sungguh saya telah dididik oleh seorang hamba yang saleh, sungguh saya telah dididik oleh seorang hamba yang saleh,” yang dia maksud adalah Umar bin Al-Khaththab. Beliau menampakkan (bukti) taubatnya, memperbaiki jalan hidupnya setelah itu, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama. Maka kisah ini adalah sebuah kejadian besar yang menjelaskan manhaj ahlussunnah bersama orang-orang yang menentang mereka dan bersama orang yang ingin mencoba masuk ke dalam barisan ahlussunnah untuk melemparkan perselisihan di tengah-tengah mereka, untuk mencerai beraikan barisan mereka, untuk memecah belah di antara mereka, untuk melemparkan syubhat agar bisa memalingkan mereka dari manhaj ahlussunnah wal jamaah, yaitu manhaj yang sepantasnya ditempuh bersama orang yang menyimpang tersebut, seperti apa yang ditempuh oleh para sahabat, tabiin bersama Shabigh bin Ishl, dan contoh-contoh lainnya yang sangat banyak.
[Tahdzir dari Ahli Bid’ah]
Di antara perkara yang menunjukkan jelasnya mereka dalam manhaj dan nampaknya mereka dalam berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah, dan hal ini -sebagaimana yang kita katakan- termasuk di antara ciri-ciri ahlussunnah wal jamaah adalah mereka mentahdzir dari mubtadi’ (ahli bid’ah). Karenanya kamu akan mendapati kitab-kitab mereka penuh berisi tahdziran dari bid’ah, tahdzir dari mubtadi’, mereka mentahdzir dari bid’ah itu sendiri, mentahdzir dari hizbiyah itu sendiri, mentahdzir dari mubtadi’ itu sendiri. Mereka sama sekali tidak merasa risih melakukannya dan mereka tidak menganggap hal itu sebagai ghibah yang diharamkan, bahkan dia termasuk ghibah yang diperbolehkan yang diperbolehkan oleh syariat, bahkan dia adalah nasehat dalam agama Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Maka tahdzir dari bid’ah dan kelompok-kelompok bid’ah ini dan dari para ahli bid’ah itu sendiri beserta penyebutan nama-nama mereka, semua perkara ini menunjukkan jelasnya mereka dalam manhaj. Mereka mentahdzir dari semua itu agar semua itu tidak masuk ke dalam barisan ahlissunnah, agar barisan tidak bercampur baur. Setiap barisan berada di sisi sendiri, ahli bid’ah beserta bid’ah mereka di satu sisi sedang ahlussunnah beserta manhaj mereka, salafiah yang bersih lagi murni berada di sisi lain.
[Syubhat Batil]
Mereka tidak mengambil ilmu dari mubtadi’, tidak belajar kepada mereka, tidak membaca kitab-kitab mereka, bahkan di dalam kitab-kitab ahlissunnah terdapat kecukupan dan di dalam kitab-kitab para ulama terdapat kecukupan, kita tidak butuh kepada kitab-kitab ahli bid’ah dan kita tidak punya keperluan untuk mendengarkan kaset-kaset ahli bid’ah. Kita tidak mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh ahli ahwa -itulah syubhat setan-: Ambillah kebenaran dari mereka dan lemparkanlah kebatilannya. Kita katakan: Betul sekali, kebenaran itu diambil dari siapa saja. Kalau ada seseorang yang datang lalu menampakkan kepada kita kebenaran maka kita harus menerima kebenaran tersebut, bagaimana pun jauhnya orang itu dari Allah. Maka kita menerima kebenaran, hanya saja perkara ini tidaklah menunjukkan kita boleh mencari-cari kebenaran dari mereka dan kita boleh mendengar kaset-kaset mereka agar kita bisa mengambil kebenaran dari mereka dan meninggalkan yang batil, atau kita membaca kitab-kitab mereka agar kita bisa mengambil yang benar dan meninggalkan yang batil. Syubhat inilah yang telah menyesatkan banyak pemuda. Dia mendapati di dalam dirinya, dia menyangka pada dirinya bahwa dia sudah kuat dalam akidahnya, dia sudah mapan dalam manhajnya, sehingga dia dengan tenang membaca kitab-kitab mereka dan tidak perduli buku siapa yang dia baca, maka dia membaca kitab seorang ikhwani, membaca kitab seorang quthbi, membaca kitab seorang takfiri, membaca kitab seorang asy’ari, membaca kitab seorang muktazili, kemudian dia berkata: Saya mengambil yang benarnya dan meninggalkan yang batil. Hendaknya orang ini mengetahui, kalau dia terus-menerus di atas metode seperti ini maka ujung-ujungnya pasti kebatilan akan masuk ke dalam hatinya. Karenanya para imam besar, para ulama besar dari kalangan mutaqaddimin, Ayyub As-Sikhtiyani dan Ibnu Sirin -rahimahullah- yang telah berada di jenjang yang tinggi, juga para ulama dari kalangan tabiin. Mereka didatangi oleh mubtadi’ lalu berkata, “Saya mau mendebat kalian dan adu argumen dengan kalian,” tapi mereka menjawab, “Tidak.” Mereka kembali berkata, “Kalau begitu dengarlah dari kami satu kalimat saja,” maka mereka segera meletakkan jari-jari mereka ke telinga-telinga mereka seraya berkata, “Tidak, walaupun setengah kalimat.” Seseorang di antara mereka (mubtadi’) pernah berkata kepada Ayyub, “Saya akan membacakan Al-Qur`an kepadamu,” beliau menjawab, “Jangan kamu membacakan sesuatu pun kepadaku, walaupun Al-Qur`an.” Maka beliau ditanya tentang hal itu, maka imam ini menjawab -itulah kalimat yang berharga-, “Sesungguhnya hati itu lemah, sehingga mungkin saja kebatilan masuk ke dalamnya, siapakah yang bisa mengeluarkan kebatilan ini dari hati? Mungkin saja dia membacakan satu ayat kepadaku lalu dia memalingkan maknanya sehingga saya menjadi sesat karenanya.” Bersamaan dengan beliau adalah seorang imam besar dan telah mencapai jenjang yang tinggi, maka bagaimana lagi dengan kita, orang-orang yang lemah, bagaimana lagi dengan para penuntut ilmu yang berprasangka baik pada diri-diri mereka sampai sangkaan baik ini menyebabkan mereka pulang kembali sehingga mereka menjadi orang-orang yang keheranan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah menukil dari Al-Ghazali bahwa dulu dia membaca kitab-kitab para filosof untuk membantah mereka sampai akhirnya dia terjun ke dalam mazhab dan akidah mereka sehingga dia tersesat. Demikian pula contoh-contoh yang banyak dari kalangan orang-orang yang belajar dari mubtadi’ lalu dia menjadi sesat dan bernisbah kepada syiah, dan dari orang yang belajar kepada seorang Asy’ari lalu dia terpengaruh dengannya dan berpindah kepada mazhabnya padahal di awal hidupnya dia berada di atas sunnah. Dia pergi sebagai seorang sunni lalu belajar kepada seorang mubtadi’, bergaul dengan mereka dan membaca kitab-kitabnya dan tidak perduli, lalu dia pulang kembali, hingga akhirnya dia menjadi penyeru bid’ah bahkan menjadi orang yang memerangi ahlussunnah wal jamaah. Maka semua ini termasuk dari bentuk kejelasan dalam manhaj.
[Penamaan Ahlussunnah]
Demikian pula termasuk dari bentuk kejelasan dalam manhaj adalah nama-nama yang ahlussunnah bernama dengannya, yang dengannya mereka berbeda dari selain mereka. Maka ahlussunnah sejak awal kali mereka muncul, mereka pada zaman nabi r berada di atas satu hati, bid’ah tidak bisa masuk ke tengah-tengah mereka dan tidak mendapati jalan untuk masuk kepada mereka. Maka ketika itu mereka hanya dinamakan sebagai muslimin dan mukminin. Kemudian tatkala nampak bid’ah ilmu kalam dan khuruj (kudeta), maka mereka dinamakan ahlussunnah wal jamaah, karena mereka mengikuti sunnah dan komitmen terhadap jamaah kaum muslimin. Tatkala muncul ahlu ra`yi dari kalangan orang-orang yang lebih mengedepankan ra`yu (pendapat) di atas hadits, maka mereka dinamakan ahli hadits. Setelah itu, tatkala muncul orang-orang yang tidak memperdulikan atsar-atsar para ulama salaf, mereka tidak mau mendengar atsar dari sahabat dan tabiin, maka mereka dinamakan sebagai ahli atsar. Tatkala muncul beberapa kaum yang mengatakan: Kami di atas Al-Kitab dan As-Sunnah, maka mereka dinamakan salafiyun karena mereka mengambil Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf as-saleh dan mereka tidak hanya terbatas pada Al-Kitab dan As-Sunnah saja dengan akal-akal dan pemahaman-pemahaman mereka, bahkan mereka menamakan diri-diri mereka dengan salafiyun karena mereka mengambil Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf as-saleh.
[Tidak Ada Sirriyah Dalam Dakwah]
Demikian pula mereka terang-terangan dalam mazhab mereka, mereka tidak menempuh metode sirriyah (sembunyi-sembunyi) karena sirriyah termasuk dari tanda ahli bid’ah dan di antara tanda yang menunjukkan bahwa di dalam hati mereka ada penyimpangan. Umar bin Abdil Aziz -rahimahullah- berkata, “Kalau kamu melihat sebuah kaum berbisik-bisik tanpa memperdengarkannya kepada orang-orang maka ketahuilah bahwa mereka sedang membangun kesesatan.” Kalau kamu melihat mereka dalam sirriyah, dalam perkumpulan sirriyah, di antara sesama mereka, mereka tidak mengabarkan ucapan-ucapan mereka dan akidah-akidah mereka kepada orang-orang, tidak menampakkannya di hadapan manusia, tidak mengumumkannya di hadapan manusia, bahkan urusan mereka berada di bawah aturah kelompok, di antara mereka ada beberapa majelis sirriyah, maka yang seperti ini tidak termasuk dari ahlussunnah wal jamaah dan ketahuilah bahwa mereka tengah membangun kesesatan.
[Bersatu di Bawah Pemerintah]
Ahlussunnah juga -bersamaan dengan kejelasan manhaj mereka-, mereka berada di bawah bendera pemerintah kaum muslimin dan tidak menentang. Mereka meyakini wajibnya mendengar dan taat kepadanya. Maka kalau kamu berada di dalam negeri Islam -seperti Negara ini (Indonesia)- maka hendaknya kamu mendengar dan taat kepada pemerintah muslim, selama pemerintahan adalah kaum muslimin, maka wajib untuk mendengar dan taat kepada mereka dalam kebaikan. Adapun ahli bid’ah, maka mereka membuat pemerintahan sendiri di dalam wilayah pemerintahan yang syar’i, mereka memasang amir (pemerintah) dakwah, amir organisasi, amir yang tersembunyi. Ini termasuk dari bentuk kudeta kepada pemerintah. Amir-amir dakwah ini yang dipasang oleh mereka para hizbiyun termasuk dari bentuk kudeta kepada pemerintah. Bahkan Ahlussunnah wal jamaah mengajar dan mendidik agar mereka mendengar dan taat kepada pemerintah mereka dan mereka tidak membolehkan durhaka kepada mereka dalam hal kebaikan. Kalau dia memerintahkan ketaatan dan kebaikan maka dia harus didengarkan dan ditaati dan tidak boleh dimaksiati dalam hal kebaikan. Tidak boleh memasang imarah (kepemimpinan), tidak boleh ada hizbiah, karena semua ini termasuk dari tanda-tanda ahli bid’ah dan kesesatan. Di antara jawaban yang paling tepat yang pernah saya dengar berkenaan dengan imarah (kepemimpinan) dalam dakwah ini. Karena imarah yang seperti ini tetap dipasang oleh mereka walaupun di dalam negeri Islam, sampai di Kerajaan Saudi Arabiah, sampai di daerah Teluk di Negara kami. Mereka memasang amir-amir pada masjid-masjid mereka, setiap masjid mempunyai amir sendiri, setiap daerah punya amir sendiri padahal wilayahnya syar’i, pemerintah ada, tapi bersamaan dengan itu mereka melakukan perbuatan ini. Maka saya pernah bertanya kepada guru kami, Syaikh Hammad Al-Anshari -rahimahullahu Taa’la- ketika kami keluar dari Masjid Nabawi. Saya berkata kepadanya, “Wahai Syaikh, apa pendapatmu tentang orang yang memasang amir (pemimpin) yang mereka sangka sebagai amir dakwah bersamaan dengan adanya pemimpin (pemerintah) muslim?” maka beliau menjawab dengan sebuah jawaban yang agung, “Pemimpin yang paling akhir dari keduanya (amir dakwah) harus dibunuh.” Maksud beliau ini adalah termasuk dari bentuk kudeta, bukan maksud beliau orang itu dibunuh betul, tapi yang beliau maksud adalah bahwa hal seperti ini bisa termasuk ke dalam hadits ini, dan termasuk ke dalam bentuk-bentuk kudeta kepada pemerintah, karena dia menandingi pemerintah dalam perintah dan kekuasaannya. Maka ahlussunnah mentahdzir dan menjauh dari sirriah, mereka bersikap jelas dan terang-terangan serta bersatu di bawah jamaah kaum muslimin. Semua ini termasuk dari tanda kejelasan dalam manhaj.
[Tidak Talawwun Dalam Manhaj]
Karenanya di antara manhaj ahlussunnah wal jamaah adalah bahwa mereka berada di atas satu jalan, kokoh di atas satu jalan, dan ini termasuk dari kejelasan dalam manhaj. Mereka tidak talawwun (berubah-ubah) karena talawwun -sebagaimana yang ditegaskan oleh para ulama salaf as-saleh- termasuk di antara tanda-tanda ahli bid’ah. Talawwun dalam agama, berpindah-pindah dalam agama, dari satu mazhab ke mazhab lainnya, berpindah-pindah di antara hawa nafsu, tidak tetap pada satu pijakan dan tidak tetap pada satu mazhab, ini adalah termasuk dari tanda-tanda ahli bid’ah. Kamu melihat dia berada di sini pada satu hari lalu pindah ke sana selama beberapa hari, kemudian ke tempat lain selama beberapa hari, dan seterusnya terombang-ambing dalam hawa nafsu, karena dia mencari kebenaran tidak dengan cara yang seharusnya dan tidak mencari kebenaran dengan jalan-jalan yang dibenarkan syariat, dan hatinya tidak disertai dengan keikhlasan, kejujuran dan kecintaan dalam menuju dan mencari kebenaran. Kalau tidak maka tentunya Allah tidak akan menyia-nyiakan amalannya kalau memang dia memang betul-betul menginginkan kebenaran, memang betul menginginkan hidayah. Adapun mereka para ahli ahwa dan ahli bid’ah, maka para ulama salaf telah mencela mereka karena di antara tanda-tanda mereka yang paling nampak adalah mereka talawwun dalam agama. Maka dari sini nampak bahwa sepantasnya ahlussunnah nampak dalam manhaj dan akidah mereka, mereka tidak bertalawwun dan tidak berpindah-pindah di antara hawa nafsu. Karenanya Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bersabda -sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar dalam Shahih Muslim-, “Perumpamaan orang munafik dalam umatku seperti seekor kambing yang terlantar (hilang) yang berada di antara dua ekor kambing. Pada satu ketika dia berjalan bersama kambing yang satu dan pada kali lainnya dia berjalan bersama kambing yang kedua. Dia tidak tahu, kambing mana yang harus dia ikuti.” Ahli bid’ah, kebanyakan mereka adalah orang-orang munafik, perumpamaan mereka seperti kambing yang terlantar, terkadang dia berjalan ke sini, terkadang dia berjalan ke sana, demikianlah dia berpindah-pindah, tidak tahu mana yang harus dia ikuti. Demikianlah keadaan ahli bid’ah dan orang-orang munafik. Karenanya Huzaifah -radhiallahu anhu- berkata, “Sesungguhnya kesesatan yang sebenar-benarnya kesesatan adalah engkau mencoba mengetahui apa yang dulunya kamu ingkari dan kamu sudah mulai mengingkari apa yang dulunya kamu ketahui.” Kesesatan yang sebenar-benarnya kesesatan adalah kamu dulunya termasuk dari ahlussunnah lalu kamu menyimpang darinya dan kamu berpindah-pindah di antara hawa nafsu. Setelah dulunya kamu memandang bahwa sunnah dan manhaj salafy adalah kebenaran, kemudian kamu menyimpang bersama ahli bid’ah, setelah itu kamu melihat kebenaran -yang merupakan manhaj seorang sunni- sebagai suatu kesesatan, dan kamu melihat kesesatan -yang berupa perbuatan bid’ah- sebagai sunnah. Huzaifah berkata, “Sesungguhnya kesesatan yang sebenar-benarnya kesesatan adalah engkau mencoba mengetahui apa yang dulunya kamu ingkari -dari hawa nafsu dan bid’ah- dan kamu sudah mulai mengingkari apa yang dulunya kamu ketahui -dari sunnah Nabi -shallallahu alaihi wasallam- dan manhaj salaf-.” Karenanya Umar bin Abdil Aziz -rahimahullahu Ta’ala- berkata, “Janganlah kamu jadikan agamamu sebagai ajang/bahan perdebatan, karena barangsiapa yang menjadikan agamanya sebagai bahan perdebatan maka dia akan banyak berpindah-pindah (mazhab).” Adapun orang yang senang berdebat dan adu argumen di sana sini, maka orang ini akan berpindah-pindah di antara hawa nafsu. Maka agamamu yang kamu berada di atasnya di atas keyakinan dan agamamu yang kamu yakini di atas keyakinan, janganlah kamu berpindah-pindah di antara hawa nafsu. Kalau kamu menjadikan agamamu sebagai bahan bagi orang-orang yang senang adu argumen dan senang berdebat dari kalangan ahli ahwa dan kamu membiarkan mereka menguasai dirimu, maka orang yang seperti ini akan sering berpindah-pindah. Karenanya Abu Juwairiah -salah seorang Murjiah- pernah dating kepada Imam Malik -rahimahullahu Ta’ala- lalu berkata, “Wahai Malik, saya mau berdebat denganmu.” Maka Imam Malik berkata kepadanya, “Kalau saya berhasil mengalahkan kamu, kamu yang harus ikut kepadaku?” dia menjawab, “Ia.” Beliau berkata lagi, “Kalau kamu mengalahkan saya, saya yang harus ikut kepadamu?” dia menjawab, “Ia.” Beliau berkata, “Kalau begitu pergilah kamu kepada orang yang ragu -selain saya- lalu debatlah dia dalam agamanya, karena sesungguhnya saya tidak ragu terhadap agamaku.” Maka beliau menjelaskan bahwa keraguan (dalam beragama) termasuk di antara tanda-tanda ahli bid’ah. Adapun ahlussunnah, maka mereka bukanlah orang-orang yang ragu dalam akidah dan manhaj mereka. Ibrahim An-Nakhai -rahimahullahu Ta’ala- berkata, “Mereka (para tabiin, pent.) memandang sikap talawwun dalam agama adalah termasuk dari ragunya hati kepada Allah.” Maka wajib atas seorang sunni untuk tidak talawwun dalam agamanya karena talawwun termasuk dari tanda-tanda ahli bid’ah dan kesesatan.
[Trik Ahli Bid’ah]
Kalau begitu, ketidakjelasan adalah termasuk dari manhaj dan metode ahli bid’ah. Adapun ahlussunnah as-salafiyun, maka (manhaj) mereka sangat jelas dan terang. Para ulama juga telah menyebutkan beberapa perkara yang menjelaskan metode ahli bid’ah dalam keberagamaan mereka, dalam keyakinan mereka dan dalam muamalah mereka bahwa mereka tidak jelas dalam manhaj, tidak jelas dalam akidah mereka. Karenanya Al-Imam Mufadhdhal bin Al-Muhalhil -rahimahullahu Ta’ala- berkata -dan beliau termasuk dari ulama salaf-, “Seandainya ahli bid’ah mendatangi kamu dan ketika dia pertama kali masuk ke dalam majelismu, mereka langsung menyebutkan suatu bid’ah niscaya kamu akan memboikot mereka dan kamu akan meninggalkan mereka. Akan tetapi mereka ketika pertama kali datang kepadamu, mereka membawa sunnah dan membaca hadits tentang sunnah, kemudian kalau setelah itu mereka sudah merasa berkuasa barulah mereka melemparkan bid’ah-bid’ah mereka sesuai dengan apa yang mereka kehendaki, maka kapankah bid’ah itu keluar dari hatimu?” Ini adalah trik mereka, awal kali mereka datang, -padahal sebenarnya dia adalah ahli ahwa yang bertujuan untuk merusak sunnah-, dia datang dan masuk bergaul dengan mereka (ahlussunnah). Dia membacakan kepada mereka hadits-hadits tentang sunnah dan menyampaikan ilmu kepada mereka. Sampai tatkala mereka merasa sudah sanggup karena dia sudah mempuanyai kedudukan di tengah-tengah mereka setelah itulah baru dia melemparkan syubhat-syubhatnya dan hawa nafsunya. Dia mulai memecah belah dan menghancurkan barisan ahlussunnah. Ini adalah trik ahli bid’ah, mereka selalu mengusahakan agar kita membiarkan mereka masuk. Mereka sebagaimana yang diperumpamakan oleh Imam Al-Barbahari -rahimahullah- dengan ucapannya, “Ahli bid’ah itu seperti kalajengking, mereka menyembunyikan kepala-kepala mereka tapi mengeluarkan ekor-ekor mereka yang dengannya mereka menyengat,” agar dia tidak terlihat sampai akhirnya mereka bisa menyengat manusia. Demikian pula ahli bid’ah, keadaan mereka seperti keadaan kalajengking ini yang sengaja bersembunyi, sampai ketika dia sudah merasa sanggup maka dia akan segera menyengat, menyebarkan bid’ahnya, menyebarkan kesesatannya di tengah-tengah ahlussunnah wal jamaah. Di sini juga ada ucapan yang agung dari Al-Imam Abu Zur’ah –rahimahullah Ta’ala-, beliau berkata, “Mereka para ahli kalam -bahkan seluruh ahli ahwa- jangan biarkan mereka masuk ke tengah-tengah kalian -yakni jangan biarkan mereka menguasai kalian tapi hendaknya kalian senantiasa waspada dari mereka, senantiasa mentahdzir mereka- karena akhir perkara mereka akan kembali kepada sesuatu yang mereka tutup-tutupi.” Perjalanan mereka, akhir mereka dan penutupan mereka akan menampakkan bahwa mereka termasuk dari ahli ahwa dan bid’ah. Terkadang mereka bersembunyi selama setahun atau dua tahun. Beliau (Abu Zuar’ah) berkata, “Perkara mereka hanya akan tertutupi selama setahun atau dua tahun kemudian akan tersingkap maka janganlah salah seorang di antara mereka (ahlussunnah) membela mereka, karena kalau suatu ketika kejahatannya tersingkap, maka akan dikatakan kepada yang membela ini, “Kamu termasuk temannya.” Dan kalau suatu ketika dia berbalik maka yang membelanya pun akan berbalik karenanya. Maka tidak sepantasnya bagi orang yang berakal untuk memuji mereka.” Maksud beliau adalah: Bahwa mereka yang masuk ke dalam barisan ahlussunnah dari kalangan ahli ahwa lalu menyembunyikan jati dirinya, orang yang kamu masih mempunyai keraguan tentang dirinya dan yang kamu masih ragukan akidahnya. Yang seperti ini jangan kamu langsung memujinya, jangan kamu menolongnya dan jangan mengangkatnya. Akan tetapi berikan dia jangka waktu dan tunggulah hasilnya. Terkhusus kalau orang itu termasuk dari orang-orang yang kembali dari hawa nafsu dan bertaubat kepada sunnah, yang seperti ini dibiarkan dalam jangka waktu tertentu sampai dilihat perkara dan keadaannya, karena setelah jangka waktu itu terkadang jati diri sebenarnya akan terungkap. Kalau sudah tersingkap dan nampak dia termasuk dari musuh-musuh sunnah bahwa dia tadinya masuk hanya untuk membuat makar kepada ahlussunnah, maka kamu wahai yang dahulu telah memujinya maka kamu akan dicela karenanya, kamu akan dicela karena pujian itu kepadanya, karena kamu tidak memberinya jangka waktu dan terlalu tergesa-gesa memujinya dan kamu tidak menunggu sampai nampak dan jelas perkaranya. Semisal dengannya, kisah Shabigh yang terlah berlalu kita sebutkan, sang khalifah memberinya jangka waktu setahun padahal dia telah menampakkan taubatnya, akan tetapi beliau mengundurnya selama setahun. Demikian pula warid atsar dari Imam Ahmad bahwa beliau berkata, “Tunggulah seorang mubtadi’ yang bertaubat selama setahun atau dua tahun, sampai terlihat perkaranya.” Tentu saja yang dimaksud di sini bukan pembatasan setahun atau dua tahun, tapi yang dimaksud di sini adalah sampai perkaranya jelas dan nampak telah baik perjalanan hidupnya telah baik ke’sunni’annya dan dia telah kembali kepada ahlussunnah wal jamaah. Karenanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiah -rahimahullah- berkata tentang para ahli kalam, “Para ahli kalam terkadang menguatkan satu pendapat pada satu waktu, kemudian mereka berpindah menguatkan pendapat lain pada waktu yang lain,” yakni: Sesekali mereka menguatkan yang ini dan kali lain mereka menguatkan pendapat yang lain, mereka berpindah-pindah di antara hawa nafsu beliau berkata, “Maka mereka tidak kokoh di atas satu agama, mereka didominasi oleh keraguan.” Ini adalah salah satu dari tanda-tanda ahli bid’ah, mereka hidup dalam keheranan, didominasi oleh keraguan. Kemudian beliau -rahimahullah- berkata, “Ini adalah kebiasaan Allah pada orang yang berpaling dari Al-Kitab dan As-Sunnah,” orang yang berpaling dari kitab dan sunnah, maka kebiasaan Allah padanya adalah menjadikannya dalam kebingungan dan menjadikan keraguan dalam agamanya sehingga dia berpindah-pindah di antara hawa dan di antara ahli ahwa, berpindah-pindah dalam bid’ah, dari satu bid’ah kepada yang semisalnya, dari satu musibah kepada musibah yang lebih besar. Karena Allah -Azza wa Jalla- berfirman, “Tatkala mereka menyimpang maka Allah membuat hati-hati mereka menyimpang.” Maka ini termasuk dari hukuman kepada ahli bid’ah, hukuman dari berbuat bid’ah, yaitu kalau kamu terjun ke dalam perbuatan bid’ah maka Allah akan membuat kamu tambah menyimpang daripada penyimpanganmu sebelumnya, karena kamu tidak menghendaki kebenaran sehingga kamu berpindah-pindah di antara hawa nafsu dan di antara bid’ah, dari yang besar kepada yang lebih besar dan dari suatu musibah kepada yang lebih besar sampai kamu celaka dengan kecelakaan yang nyata.
Bahkan mereka para ahli ahwa, di antara tanda dan jalan mereka dalam menyesatkan manusia, mereka terlebih dahulu masuk bergabung dengan ahlussunnah sebagaimana yang kita katakan, memberikan kerancuan kepada ahlussunnah, mereka menampakkan diri bahwa mereka termasuk ahlussunnah kemudian mereka masuk dan melemparkan syubhat-syubhat dan hawa-hawa nafsu mereka. Ini sebagaimana yang dilakukan oleh Bolis sang Yahudi tatkala dia menyusup masuk ke dalam agama Nashrani lalu dia merubahnya, memindahkannya dan merubahnya dari agama Isa lalu dia merubahnya sampai akhirnya mereka menyembah Isa -alaihissalam- dan mereka memunculkan akidah trinitas dan selainnya disebabkan karena menyusupnya orang Yahudi yang berpura-pura menjadi Nashrani, dia berpura-pura sebagai pengikut Al-Masih sehingga dia bisa masuk ke dalam agama Al-Masih lalu dia pun merusak dan merubahnya. Juga sebagaimana masuknya Ibnu Saba` sang Yahudi, Rafidhi kepada kaum muslimin, lalu dia menampakkan diri sebagai kaum muslimin lalu dia memberikan kerancuan kepada sebagian manusia sampai mereka menetapkan hak uluhiah kepada Ali -radhiallahu anhu-. Mereka datang kepada Ali lalu berkata kepadanya, “Kamu, kamu …,” beliau menjawab, “Siapa saya?” maka mereka menjawab, “Kamu adalah Allah, kamu adalah Allah.” Maka Ali -radhiallahu anhu- memerintahkan untuk menggali sebuah lobang besar lalu dinyalakan api di dalamnya, kemudian beliau melemparkan mereka semua ke dalam api itu sehingga beliau membunuh dan membakar mereka. Para sahabat -ridhwanullahi alaihin- bersepakat akan wajibnya membunuh mereka, para Saba`iyah (pengikut Ibnu Saba`) yang menetapkan uluhiah untuk Ali, hanya saja terjadi persilangan pendapat di antara mereka mengenai cara membunuh mereka. Sebagian sahabat mengingkari ijtihad Ali yang membakar mereka, sementara Ali berpendapat wajib atas dirinya membakar mereka sehingga beliau pun membakar mereka dengan api. Akan tetapi yang menjadi pokok pembahasan di sini adalah bahwa mereka menyusup ke dalam barisan kaum muslimin, mereka masuk ke dalam barisan ahlussunnah, mereka masuk ke dalam barisan salafiyun sampai mereka bisa menyesatkan mereka dan memalingkan mereka dari manhaj dan akidah mereka. Karenanya Imam As-Sijzi -rahimahullah- berkata –beliau adalah salah seorang imam salaf yang mempunyai beberapa kitab dalam membantah Asy’ariyah dan selainnya-, “Atau mungkin orang itu termasuk dari kaum itu -yakni mungkin saja lelaki itu berasal dari kelompok ahli bid’ah- lalu dia bersandiwara dalam menyelisihi mereka (ahli bid’ah) -dia datang dan masuk bergabung dengan ahlussunnah lalu dia menampakkan bahwa dia membantah hizbiyun dan bahwa dia membantah ahli bid’ah, akan tetapi sebenarnya dia termasuk dari golongan mereka. Untuk mengaburkan ucapan mereka pada apa yang mereka ucapkan lalu dia membawakan ucapan mereka dan menganggap baik ucapan mereka lalu setelah itu dia memperingan perselisihan antara ahlussunnah dengan ahli bid’ah, dari kalangan orrang-orang yang melakukan tamyi’ (kooperatif) kepada ahli bid’ah dalam masalah akidah dan manhaj ahlussunnah dalam bermuamalah dengan ahli bid’ah, sehingga dia pun akhirnya diikuti karena disangka dia menyelisihi mereka dan sangat banyak sekali makar mereka yang seperti ini yang berhasil mengenai ahlussunnah. Imam As-Sijzi -bersamaan dengan beliau adalah termasuk dari ulama abad III H- beliau berkata, “Dan sangat banyak sekali makar mereka yang seperti ini yang berhasil mengenai ahlussunnah.” Sering ahli bid’ah menyusup ke dalam ahlussunnah dengan rupa sesuai sunnah kemudian mereka memberikan mudharat yang sangat besar kepada sunnah. Beliau juga berkata, “Barangsiapa yang menghendaki keselamatan dari mereka dan keselamatan dari hawa nafsu maka hendaknya yang menjadi tolak ukurnya adalah Al-Kitab dan atsar pada setiap yang dia dengar dan dia lihat. Kalau dia berilmu tentang keduanya maka hal itu (apa yang dia peroleh) dia perhadapkan kepada keduanya dan kalau tidak (berilmu tentang keduanya) maka hendaknya dia mengikuti salaf as-saleh,” yakni: Pertama-tama dia menjadikan barometer dan tempat merujuk dalam perselisihan adalah Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf as-saleh. “Dan jangan dia menerima dari siapa pun suatu ucapan kecuali dia meminta dalilnya dari ayat yang muhkam atau sunnah yang tsabit atau ucapan sahabat dari jalan yang shahih.” Ini termasuk dari tanda-tanda ahlussunnah, yaitu mereka bertul-betul mencari dalil, senantiasa bertanya, “Apa dalil dari hal ini, apa dalil dari hal ini.” Kalau datang kepadanya suatu ucapan maka dia akan berkata, “Apa dalil dari hal ini, apa dalil dari hal ini.” Maka ini termasuk dari tanda-tanda ahlussunnah wal jamaah bahwa mereka senantiasa berusaha untuk mencari dalil. Kemudian beliau berkata, “Hendaknya dia waspada kepada kitab-kitab karangan orang-orang yang berubah keadaannya karena di dalamnya ada kalajengking dan yang terkadang tidak bisa untuk diobati.” Ini termasuk dari perumpamaan terbesar, mereka yang telah berubah keadaannya, maka kitab-kitab dan karangan-karangan mereka, ahli ahwa dan ahli bid’ah, kitab-kitab dan karangan-karangan mereka seperti kalajengking dan di dalamnya ada kalajengking. Maka terkadang dia menyengatmu dan beliau berkata, “Terkadang tidak bisa diobati,” yakni: Terkadang kamu tidak bisa mendapatkan penyembuhan dari sengatan itu atau syubhat yang telah bercokol di dalam hatimu. Ini adalah keadaan ahli bid’ah dan ahwa pada kenyataan kita sekarang, dimana kita hidup dan pada zaman kita ini.
[Contoh Nyata Dari Makar Mereka]
Kamu melihat banyak di antara mereka yang masuk dan ingin menonjol dalam sunnah, dia masuk dan berbicara tentang sunnah, kemudian tidak cukup setahun atau dua tahun kecuali kamu melihat mereka telah berpaling dari sunnah, mentahdzir ahlussunnah, mentahdzir para ulama setelah sebelumnya mereka memuji para ulama kita dan kamu melihat dia hadir dalam majelis mereka. Dia memuji Syaikh Ibn Baz, memuji Syaikh Al-Albani, memuji Syaikh Rabi’ Al-Madkhali, memuji Syaikh Muqbil. Kemudian setelah semua itu, setelah berlalu setahun atau dua tahun di masuk ke dalam Sunnah, dia telah mempunyai pengaruh dan telah tersebar darinya satu atau dua kaset, kemudian setelah itu dia memperlihatkan jati diri dia yang sebenarnya sebagai musuh yang sangat menentang ahlussunnah, dia memerangi mereka dengan peperangan yang dahsyat, seperti yang terjadi pada: Abul Hasan Al-Ma`ribi, atau selainnya, sebagaimana yang terjadi pada Falih Al-Harbi atau Fauzi Al-Atsari atau selainnya dari mereka yang menyimpang dan berbalik dari ahlussunnah dan akhirnya mereka menjadi musuh besar bagi ahlussunnah wal jamaah. Maka hendaknya waspada dan hati-hati dari orang-orang semacam ini karena mereka adalah sangat berbahaya dan besar mudharatnya bagi ahlussunnah wal jamaah. Maka semua dalil yang telah kami sebutkan ini adalah dalil-dalil yang jelas bahwa ahlussunnah mempunyai kejelasan dalam manhaj, mereka hidup di atas kejelasan dalam manhaj. Manhaj mereka, malamnya seperti siangnya. Mereka hidup dan beragama dengan lembaran yang sangat putih, hati mereka cahaya dan mereka hidup di dalam cahaya dan mereka beragama dengan cahaya, cahaya Al-Kitab dan cahaya sunnah Nabi -shallallahu alaihi wasallam-. Maka sepantasnya bagi kita untuk berada di atas manhaj ini, sepantasnya bagi kita untuk hidup di atas metode ini. Hendaknya manhaj kita jelas, keberagamaan kita jelas, kesalafiyaan kita juga jelas. Dengan ini akan nampak pentingnya kejelasan dalam manhaj salafi dan pentingnya seorang salafy mempunyai kejelasan dalam akidahnya, keberagamaannya dan manhajnya.
[Penutup]
Kita meminta kepada Allah Yang Maha Agung agar menjadikan kita termasuk orang-orang yang mempunyai sifat jelas di atas manhaj ahlussunnah wal jamaah dan termasuk orang-orang yang kokoh di atasnya sampai kita berjumpa dengan-Nya. Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran dan berikanlah kami rezeki untuk mengikutinya dan perlihatkanlah kepada kami kebatilan itu sebagai kebatilan dan berikanlah kami rezeki untuk menjauhinya. Sahalat dan salam Allah kepada Nabi kita Muhammad dan jazakumullahu khairan atas perhatian kalian.
Sumber : http://al-atsariyyah.com/ciri-khas-mazhab-as-salaf-2-selesai.html
0 komentar:
Posting Komentar